oktober... awal yang tak kalah dar der dor dari bulan sebelumnya.
selalu saja ada aktivitas heroic yang nyelip di antara hidupku yang belum jelas arahnya.
kali ini, modalnya cuma muka tebal dan satu tas kecil berlabel “primadona”—toko oleh-oleh khas jember yang entah kenapa rasanya lebih berat dari isi dompetku sendiri.
aku memberanikan diri menghadap keluarga yang sebelumnya tak pernah kutemui dengan maksud bertaaruf, memperkenalkan diri, meminta restu. yang semua itu adalah tingkah terlalu nekat dan tak masuk akal bagi seorang yang masih tak jelas arah hidupnya.
bermodalkan bismillah, kuengkol motor yang seminggu sekali hampir bisa dipastikan bermasalah ini. kucantol tas gendong, lalu kukencangkan helm. memulai dengan motor gigi satu seraya gigiku pun ikut bergetar dibuatnya. kecemasan, overthinking dan semua ketakutan berkumpul bak gumpalan kabut hitam yang menjelma layaknya monster yang siap melahap. seperti biasa, aku mencoba menemukan distraksi akan hal itu. kucoba menikmati perjalananan dengan memainkan gas motorku yang sedikit berat itu. sembari tolah-toleh kanan-kiri, kuperhatikan setiap detail jalanan yang mengiri perjalanan sabtu pagi ini. mulai dari lalu lalang ibu-ibu berangkat ke sawah, mas-mas berlari, outlet bengkel persiapan buka, sampai jejeran para pedagang es dan cemilan ramah kantong siswa sd, semua berada dalam pantauanku. terpantau pula orang yang hendak berangkat berolahraga dengan setelah costum lengkap dan tas berselempang di punggungnya. hal yang biasanya juga rutin kulakukan jikalau tidak mengambil momen berani ini. sembari memantau itu semua, dalam benakku berulang pertanyaan "apa yang akan terjadi nanti setelah sampai di rumahnya ya? pertanyaan apa yang pertama kali terlontar? apakah aku bisa meyakinkan dengan kondisiku saat ini?"
lamunan diatas kendaraan ini seketika berhenti seiring lampu lalu lintas berada pada posisi merah tepatnya di perempatan jalan pb Sudirman. kuturunkan gigi motor menuju netral. tak sengaja aku melihat ke arah kiri, arah jam 10 dari tempatku menghentikan kuda mesinku. kalimat yang bisa mendiktrasi ketakutan selama perjalanan dan sedikitpun tak memberi ruang padaku untuk berhenti, apalagi putar balik. kalimat besar dalam bahasa asing itu berbunyi "You'll never know if you never try". entah siapa yang masang, tapi kalimat itu terasa seperti tamparan dengan sarung tangan sutra. sopan, tapi nyelekit.
kadang kita terlalu banyak mikir sebelum mulai, padahal ketakutan itu cuma bayangan dari hal-hal yang belum terjadi.
lucunya, setelah benar-benar dijalani, sering kali kita cuma bisa nyengir dan bilang:
“ternyata nggak semenakutkan itu, ya.”
motor tua itu kembali meraung kecil, seolah ikut nyemangatin.
aku tancap gas menuju tawang alun—tempat bus yang akan membawaku ke rumahnya, ke Tuban, kota wali yang kini terasa seperti babak baru dalam hidupku.
dan di tengah hembusan angin yang menampar pipi, aku sadar satu hal:
kadang keberanian bukan soal yakin akan hasilnya,
tapi tentang berani terlihat bodoh demi sesuatu yang mungkin, -eh bukan hanya mungkin- tapi sangat berarti.
Tuban, 05 oktober 2025
Tidak ada komentar
Posting Komentar