rumah: tempat pulang, tempat tumbuh

hunian. tempat berteduh. berlindung. mengistirahatkan badan. merajut mimpi, memulai aksi.
itulah definisi tekstual dari apa yang kita sebut rumah. bangunan yang berdiri di atas kavling, berdinding bata, beratapkan genteng. di sanalah tubuh kembali setelah penat. di sanalah langkah dimulai setiap pagi dan diakhiri setiap malam.

tapi benarkah rumah sesederhana itu?

semakin bertambah usia, definisi rumah justru semakin abstrak. ia tak lagi sekadar struktur fisik. rumah menjadi tempat di mana kita merasa diterima meski sedang gagal. rumah adalah ruang yang mampu menerima semua versi diri kita—baik yang tangguh maupun yang sedang rapuh.

"baitii jannatii" — rumahku surgaku, sabda nabi yang sederhana tapi mengandung makna yang luas. sebuah rumah, jika benar-benar menenangkan, bisa menjadi surga dunia yang menjaga akal, hati, dan jiwa dari kebisingan hidup yang tak pernah benar-benar usai.

karena itu, tak heran bila banyak orang rindu “pulang”, meski belum tentu rindu pada bentuk bangunannya.

rumah tak selalu berwujud dinding

ada rumah yang tak berbentuk. tak bisa disentuh, tapi bisa dirasa. ia hadir dalam bentuk rasa nyaman saat bersama seseorang. seseorang yang mampu membuatmu menjadi dirimu sendiri tanpa harus berpura-pura. yang membuatmu bisa tertawa bodoh tanpa khawatir terlihat lemah.

rumah bisa berarti seseorang.
seseorang yang kamu temui, dan entah bagaimana kamu merasa tenang bersamanya. yang meskipun dunia sedang kacau, bersamanya terasa seperti teduh setelah hujan panjang. yang meski kalian pernah berselisih, tapi tetap memilih kembali dan memahami. karena tahu, bahwa rumah bukan tempat yang selalu sempurna—tapi tempat yang selalu dipilih untuk pulang.

dan di titik ini, aku memahami sabda allah dalam doanya para hamba yang mencintai:
“rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatina qurrata a’yun.”
bahwa rumah itu bisa berwujud pasangan yang menjadi penyejuk pandangan, peneduh kehidupan. qurrata a’yun—yang tak sekadar menyenangkan mata, tapi menenangkan jiwa. yang ketika dipandang, letih jadi luruh. yang ketika bicara, gelisah jadi surut. yang saat bersamanya, hidup kembali punya arah dan makna.

janur yang melengkung, janji yang mengikat

rumah juga kadang disimbolkan dengan melengkungkan janur kuning di depan pintu, tanda dimulainya babak baru. dua insan yang memutuskan membangun rumah, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara jiwa. di sanalah tempat berkeluh-kesah, berbagi cerita, menerima luka, dan saling menyembuhkan. tak melulu romantis, karena kadang rumah juga tempat bertengkar, berdamai, dan terus belajar.

di sinilah letak kedewasaan sejati: menjadikan seseorang sebagai rumah. dan menjadikan diri kita juga sebagai rumah baginya. tempat aman untuk pulang, bukan tempat yang menghakimi, apalagi maunya menang sendiri.

 “di mana kamu saat ini? dan siapakah kamu itu?”

pertanyaan itu terus bergaung di kepala.
bukan hanya untuk seseorang yang kupanggil “rumah”, tapi juga untuk diriku sendiri.

di mana kamu saat ini?
mungkin kamu sedang dalam perjalanan—menuju versi terbaikmu, atau sedang tersesat dan lelah menempuh arah yang kamu sendiri ragu. tapi tak apa. karena rumah bukan hanya tentang tiba di tujuan, melainkan tentang tahu arah pulang.

siapakah kamu itu?
mungkin kamu belum sepenuhnya tahu. mungkin kamu masih mencari. tapi kamu adalah seseorang yang sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, meski kadang merasa tak cukup. seseorang yang mungkin tak sempurna, tapi punya niat untuk mencintai dan dicintai dengan tulus sepenuhnya.

dan jika kamu itu adalah seseorang yang diam-diam kusebut dalam setiap doa...
...maka kamu tak harus sempurna untuk jadi rumah bagiku.
cukup jadi tempat aku bisa pulang tanpa takut ditolak,
...dan aku pun akan belajar menjadi rumah yang layak bagimu.

kamu: rumah yang kupilih untuk pulang

jika rumah bisa berwujud seseorang, maka kamu mungkin rumah itu.
kamu yang hadir dalam langkah-langkah kecilku. yang menyemangati tanpa menyuruh, yang mendengarkan tanpa menghakimi. yang menjadi saksi atas semua proses jatuh-bangunku.
kamu yang hadir bukan untuk menyempurnakan, tapi untuk tumbuh bersama.
support system terbaik setelah pasangan yang menjadi asal-usulku itu, ayah-ibu.

maka jika kelak janur itu mulai dilengkungkan, dan undangan diedarkan, biarlah aku menyebut namaku bersamamu di dalamnya. karena rumah itu, bukan lagi sekadar bangunan—tapi kamu, yang kutemukan saat aku berani melangkah lebih jauh.

dan jika sekarang kamu masih tersembunyi,
masih menyusun dirimu di balik tumpukan ragu dan luka masa lalu—
tenang saja...

...akan kutemukanmu dalam persembunyianmu.