tulisan ini adalah tentang "kamu", dan tentang bagaimana aku mengamatimu. diam-diam. penuh rasa. karena kamu bukan sekadar indah. kamu adalah amatku.

pertemuan yang mengubah ritme

aku bukanlah orang yang mudah memulai.

bahkan untuk sekadar menyapa dengan maksud pribadi,

seringkali hanya mampu kupendam dalam hati.

aku tahu kamu—sejak lama, dari lingkungan yang sama,

bahkan terbiasa bersinggungan dalam urusan teknis dan struktural.

tapi itu tak lebih dari interaksi fungsional.

mendekat dalam makna yang lebih personal?

rasanya terlalu jauh dan fenomenal.

kita memang sudah sering bertukar pesan—namun hanya seputar urusan umum, 

keluhan organisasi, atau urusan perteknisan.

sampai akhirnya, datang satu pesan yang membelah alur biasa itu.

pagi itu, jumat, kamu menulis:

"mo ke gramed ga besok sabtu?"

 

seketika, tanganku dingin. bukan karena takut, tapi karena tak biasa.

ini ajakan yang terlalu nyata untuk sekadar basa-basi.

seperti biasa, keterkejutan itu kucoba tutupi.

dengan nada kaku dan baku kutimpali:

"adakah yang bisa saya bantu? sepertinya anda membutuhkan bantuan."

formal. seolah masih bermain di zona aman,

padahal jantungku tak nyaman dengan degup yang kian kencang.

 

setelah tawar-menawar sistematika keberangkatan,

akhirnya kami sepakat bertemu di indomaret sebelah pom, tak jauh dari kampus.

tepat sabtu pagi pukul 10, aku dan kamu benar-benar bertemu.

berdua. bertemu sebagai dua manusia, dua insan, bukan dua bagian dari sistem.

 

singkat cerita, kita masuk ke toko buku.

kamu mencari buku incaranmu dengan antusias—entah sudah tamatkah kamu baca buku itu?

aku mengikutimu dari belakang—pura-pura tenang.

sampai akhirnya mataku tertegun pada satu judul di rak best seller:

“timun jelita” karya raditya dika.

aku tersenyum kecil, mengambil buku itu, dan berkata:
"fotoin ya," sembari kukeluarkan desain dari cover buku yang hendak kumulai.

ingin dan angan

dengan tanganmu, terabadikanlah mimpi yang belum jadi itu. lalu aku setengah bercanda:
"suatu saat, aku ingin punya buku yang bersanding dengan buku ini, di rak ini." sambil kutunjuk rak berisi buku-buku terlaku itu.

kamu tersenyum. tak menjawab. tapi bagiku itu cukup. dalam diam, aku sedang menyusun harap dan angan.

siang itu ditutup dengan makan di yoshinoya dengan obrolan panjang. seperti biasa aku yang banyak bicara, kamu yang banyak mendengar. sejujurnya, aku takut diam, karena diam terlalu jujur membocorkan gugupku.

empat sampai lima jam lamanya kita bersua berbagi cerita. tapi sejak saat itu, kamu bukan sekadar seseorang. kamu jadi tanda: bahwa hidup bisa berubah hanya lewat satu pesan ajakan yang dimulai.

sosokmu: sederhana yang menetap

menggambarkanmu selalu terasa janggal. huruf-huruf yang kuketik tak mampu mengejar ketenangan yang kamu bawa sejak kulihat lebih dekat.

fisikmu bukan yang paling mencolok. tapi justru di situlah pesonamu—tak pernah berusaha menarik perhatian, tapi mata siapa pun selalu tertarik padamu.

tatapanmu yang tajam, seolah menembus pikiran orang yang berdiri di hadapanmu.

tapi tajam itu tak menyakitkan. karena ada kelembutan yang seperti kabut pagi: dingin, tapi menenangkan.

suaramu masuk tanpa permisi dan menetap di kepala.
tak pernah meninggikan nada, tak suka menegur dengan keras. tapi tetap tegas dan jelas.

cara kamu berbicara seperti kopi yang diseduh perlahan—hangat, dalam, dan mengendap. tak terburu-buru, tapi justru karena itulah setiap katanya terasa bermakna. ada jeda yang kamu biarkan, seolah memberi waktu agar lawan bicaramu bisa mencicipi makna, bukan hanya mendengar bunyi.

dan seperti kopi, suaramu tidak selalu manis—tapi jujur. kadang pahit, tapi tetap membuat rindu. ada sensasi yang tertinggal, bahkan setelah percakapan selesai.

kamu bicara seperti seseorang yang tidak sedang ingin mengesankan, tapi ingin dimengerti. dan itulah yang membuatku—dan mungkin siapa pun yang pernah diajak bicara olehmu—enggan beranjak.

dan senyummu itu... bukan sekadar gerakan bibir. tapi ruang kosong yang mengundang akrab.

kamu adalah simfoni keindahan yang tak haus sorot. justru karena kamu tak mengejar pujian, keindahanmu jadi abadi. dan aku? hanya penonton diam yang bersyukur duduk di barisan terdepan saat kamu lewat.

tentang langkah, jarak, dan cara mencinta

kamu punya gengsi tinggi—bukan karena angkuh, tapi karena anggun. sekali melangkah, kamu bicara langsung, bergerak cepat, tak suka basa-basi. kamu tahu kapan ambil keputusan, dan tidak semua harus diumumkan sebelum dijalani.

kamu bukan tipe yang harus terhubung terus agar merasa dekat. sedangkan aku sebaliknya—merindukan quality time seperti udara. di titik ini aku belajar: mencintai tak selalu dengan cara yang sama.

kamu mendengarkan—bukan semua orang, hanya yang kamu percaya. dan begitu kamu percaya, kamu bisa mengevaluasi diri diam-diam. aku pernah merasakannya. ketika sikapku sedikit kebablasan, kamu tak langsung menegur. tapi kamu berubah. seperlunya. diam-diam pula.

tentu, ada kalanya kamu terlihat bosan. dari bicaramu yang mulai padat, jawabmu yang mulai singkat. tapi aku tetap ingin memahami. karena di balik itu, kamu sedang menjaga dirimu agar tetap utuh.

kamu mengajarkanku satu hal penting: bahwa hubungan yang dewasa bukan tentang intensitas, tapi tentang saling menghargai ritme.

dan kamu adalah ritme yang tak mudah kutaklukkan... tapi karena itulah aku betah bertahan.

aku yang berubah karena kamu

sebelum kamu hadir lebih dekat, aku biasa saja. berjalan datar. emosiku nyaris steril. tapi setelah kamu... ada sesuatu yang bergerak. aku ingin tumbuh, agar layak berdiri di sisimu.

dari cara kamu mendengarkan tanpa menyela, aku belajar menjadi tenang. dari caramu diam saat kecewa, aku belajar menahan ego. kamu mengubah banyak hal dalam diriku—tanpa kamu sadari, tanpa kamu minta.

aku mulai menyukai kesendirian, bukan karena kesepian... tapi karena aku bisa memikirkanmu dalam sunyi tanpa harus menjelaskan kenapa.

tentang rindu yang tak bernama

ada satu rasa yang selalu muncul setelah aku melihatmu: rindu yang tak tahu harus diarahkan ke mana.

bukan rindu seperti di lagu sedih. tapi rindu yang tidak minta dikembalikan, tidak pula memaksa dipenuhi. rindu yang cukup diam di dada, sembari berkata dalam hati:

"semoga kamu baik-baik saja, di mana pun kamu berada."

aku di sini, dan kau di sana.
berpisah dalam jarak kisaran dua jam lamanya.
jember–banyuwangi bukanlah alasan untuk tak bersua.
justru karena itu, tetaplah jadi alasanku pulang.

aku pernah ingin membenci rasa ini. tapi lama-lama aku paham: mencintai dalam diam adalah bentuk cinta paling kuat—karena ia tak membutuhkan sorotan, tak menuntut pamrih.
seperti air tanah yang menyusup diam-diam, tapi menghidupi akar dengan setia.

kamu bukan matahari, kamu adalah bulan

jika banyak orang memuji sosok seperti matahari—yang terang, hangat, dan gagah—maka kamu berbeda. kamu bukan matahari. kamu adalah bulan.

kamu hadir dalam gelap. kamu tak membakar, tapi menerangi. tak bersinar sendiri, tapi memantulkan cahaya dari tempat yang lebih tinggi. dan mungkin karena itu... kehadiranmu terasa lebih lembut, lebih merenyuh.

aku mengamatimu seperti langit memandangi bulan: tak bisa menjangkaumu, tapi tetap bersyukur akan hadirmu.

dari kekaguman ke cinta

kekaguman itu awalnya ringan. tapi seiring waktu, setiap detail tentangmu seperti menanamkan akar dalam pikiranku—perlahan, tapi dalam.

bukan karena kamu sempurna, justru karena kamu sangat manusiawi. dan itu... menyentuhku.

kamu adalah amatku

aku mengamatimu diam-diam.
mengagumimu dalam bentuk paling murni.
tanpa harus memiliki, tanpa harus selalu dekat.
tapi cukup tahu... kamu nyata. dan kamu ada.

kamu membuatku ingin memperbaiki sikapku.
bukan untuk membuatmu terkesan,
tapi karena jika kelak kamu berjalan di sampingku,
aku ingin jadi seseorang yang pantas mengimbangi langkahmu.

aku belajar untuk tidak banyak menuntut.
karena seseorang sepertimu bukan untuk dimiliki, tapi untuk dihormati.
bukan untuk dibelenggu, tapi untuk didampingi.

doa yang hanya langit tahu

kadang aku terlalu takut berharap. tapi tetap, aku selalu berdoa.

"rabbi laa tadzarni fardan wa anta khairul waaritsin."
tuhanku, jangan biarkan aku sendiri. dan engkau sebaik-baik pewaris.

karena aku ingin menjadikan kamu rumah.
qurrata a’yun—penyejuk pandangan, peneduh hati.
bukan karena kamu sempurna, tapi karena kehadiranmu menjadikan aku lebih baik.

dan jika saat ini kamu masih menjauh,
masih bersembunyi di balik kerja dan keraguanmu,
masih sibuk membangun dirimu hingga lupa bahwa ada yang sedang berdoa tentangmu...

maka tenanglah.
aku tidak akan mendesak.
karena sejak awal, kamu tidak hanya kukagumi—
tapi telah kuamati dalam doa, dalam diam, dalam kagum yang tak pernah kuakui keras-keras.

jika kamu membaca ini…

ketahuilah, bahwa dalam setiap doaku,
ada kamu yang diam-diam kupilih untuk menjadi rumah,
menjadi qurrata a’yun,
dan menjadi akhir dari perjalanan panjangku yang penuh pencarian.

jika kamu pernah menggenggam harap yang sama...
aku ingin jadi bagian dari jawaban doamu.
bukan sekadar singgah, tapi menetap.
bukan hanya mengagumimu dari jauh,
tapi menjadi seseorang yang bisa duduk di sampingmu dan berkata:
"aku di sini, dan aku siap tumbuh bersamamu."