bismillahirrahmanirrahim.

kembali kumulai mencoba menulis.

aktivitas yang dulu menenangkan, kini jadi alat bertahan.
beberapa bulan terakhir, hidup berubah cepat.
transisi kerja membuat ritme pikir dan tubuhku kacau.
yang dulu terasah lewat ruang kelas dan interaksi fisik,
kini terkungkung dalam layar dan kursi panjang—
lebih banyak duduk, lebih banyak berpikir,
tapi juga lebih banyak kehilangan arah.

yang paling sulit adalah menghadapi realita.
realita yang tak seindah cita-cita.
yang tak segaris dengan bayangan. apalagi harapan.
aku nyaris lupa siapa aku.
na’udzubillah. dan untuk mencegah itu, aku kembali menulis.

tulisan ini ingin kumulai dari yang terdekat: pendidikan.
sesuatu yang katanya penting, tapi sering kali dikorbankan.
bukan oleh musuhnya, tapi oleh pelakunya sendiri.

sekolah ramah anak (katanya)

beberapa tahun terakhir, spanduk “sekolah ramah anak” menjamur di pagar-pagar sekolah.
tampil manis di depan, tapi seringkali palsu di dalam.

sekolah katanya ramah. tapi... apa benar semua pihak di dalamnya mengerti makna "ramah"?
ramah bukan sekadar nada suara yang lembut atau menyapa pagi-pagi.
ramah itu tahu kapan harus mendengar, bukan hanya bicara.
ramah itu berani menahan ego sebagai orang dewasa, dan mengakui bahwa anak juga bisa punya pendapat.

tapi kenyataannya?
banyak sekolah lebih sibuk cari nilai akreditasi daripada nilai kemanusiaan.
lebih rajin bikin banner “anti bullying” daripada mendengarkan suara anak yang setiap hari dibentak gurunya sendiri.
ramah itu sudah jadi proyek. bukan komitmen.
jadi checklist. bukan jiwa.

dan ini bukan salah sekolah sepenuhnya.
sistemnya sendiri tidak memberi waktu untuk bertumbuh.

hari ini ganti kurikulum, besok ganti istilah.
dulu bos, lalu bosda, sekarang anggaran berbasis kinerja.
dulu guru diminta kreatif, sekarang dibatasi oleh platform.
satu kebijakan belum sempat dipahami, sudah digantikan oleh jargon baru yang katanya lebih “transformasional”.

semua ingin revolusi. tapi lupa bahwa revolusi butuh napas.
yang terjadi bukan reformasi pendidikan, tapi festival kebingungan nasional.
kita bukan negara gagal. tapi ya...

kita ini negara trial and error. sayangnya, murid adalah kelinci percobaannya.

level guru: dari aman sampai menginspirasi

william arthur ward pernah bilang,

the mediocre teacher tells. the good teacher explains. the superior teacher demonstrates. the great teacher inspires.

kutipan ini sering dipajang di ruang guru.
tapi di balik pajangan itu—berapa banyak yang benar-benar menghidupinya?

the mediocre teacher tells.
ia datang tiap pagi, buka buku, suruh anak menyalin, lalu duduk sambil main hp.
tak peduli apakah anak paham atau hanya menyalin karena takut.
sekolah senang, karena kelasnya "tenang".
tapi ketenangan semu ini sebenarnya kuburan sunyi bagi rasa ingin tahu.

the good teacher explains.
ia mulai peduli. ia mau menjelaskan. tapi tetap dari podium.
ia menjawab, tapi tidak bertanya balik.
ia menjelaskan panjang lebar, tapi lupa bahwa anak-anak bukan mesin perekam.
murid belajar diam, bukan berpikir.

the superior teacher demonstrates.
ia menjadi teladan. ia datang tepat waktu, menjaga ucapannya, membaca diam-diam di sela jam kosong.
tapi guru seperti ini sering jadi korban:
dicap idealis oleh rekan yang malas.
disudutkan oleh sistem yang hanya mengejar akreditasi.
dan yang paling menyakitkan: semangatnya dikikis perlahan oleh birokrasi yang tak tahu rasa.

the great teacher inspires.
ia tidak menjual rumus, ia menyalakan nyala.
ia tahu kurikulum bukanlah pagar, tapi taman liar yang bisa tumbuh bersama.
tapi guru seperti ini tidak lahir dari pelatihan dua hari di hotel berbintang.
ia lahir dari luka—dari rasa kecewa yang tak membuatnya putus asa.
dari malam-malam panjang mengoreksi bukan hanya kertas, tapi dirinya sendiri.

kalau kita jujur,
banyak guru hari ini berhenti di level dua—dan itu pun sudah dianggap prestasi.
bukan karena mereka malas. tapi karena sistem tidak memberi izin untuk bermimpi lebih jauh.

murid itu bukan kita

murid bukan lembar uji coba.
bukan produk pabrik kurikulum yang harus jadi seragam.
mereka bukan angka. bukan nilai raport. bukan portofolio.
mereka manusia.

dan yang paling penting:
mereka bukan kita.
mereka lahir di dunia yang berbeda.
dengan tantangan yang lebih cepat, tekanan yang lebih kejam, dan dunia yang lebih bising.
jangan paksa mereka tumbuh dalam cetakan zaman kita, lalu marah kalau mereka patah di tengah jalan.

kita ini bukan pabrik pencetak masa depan.
kita adalah taman penjaga pertumbuhan.
tempat anak-anak bisa jadi apa pun yang mereka mau—asal mereka tumbuh utuh.

ada yang akan jadi petani.
ada yang jadi pelukis jalanan.
ada yang cuma ingin jadi tukang ac, yang jujur, tidak menipu, dan pulang tepat waktu.
dan semua itu tidak kalah mulia dari insinyur yang kuliah di luar negeri.
kalau kamu masih mengukur kesuksesan dari seragam dan gelar, berarti kamu masih gagal jadi pendidik.

guru bukan pengatur takdir.
kita cuma pembuka jalan.
kita penanam, bukan pemetik.
kita menyiram, menunggu, dan yang paling sulit: percaya, bahwa benih itu bisa tumbuh meski tak sesuai harapan.

kalau hari ini kita belum bisa jadi “great teacher”, tak masalah.
tapi jangan bersembunyi di balik alasan sistem.
jangan jadikan kelelahan sebagai pelarian dari perbaikan.

selama kita masih mau belajar,
masih mau mendengar,
dan masih berani bilang, “aku juga belum selesai tumbuh”—
maka masih ada harapan.

karena pendidikan yang sesungguhnya…

bukan dari kepala ke kepala, tapi dari luka ke luka.
dari mereka yang pernah patah, lalu memilih tetap hadir untuk menemani anak-anak agar tak patah di tempat yang sama.