katanya ini tentang kemanusiaan.
tentang kebersamaan.
tentang kita semua duduk dalam lingkaran yang sama,
berjalan bersama menuju amal mulia:
melayani, mengabdi, menebar kebaikan.
tapi dari semua nilai luhur yang
dielu-elukan,
aku justru melihat perbedaan yang lahir dari piring.
bukan dari sikap.
bukan dari hati.
tapi dari makanan.
mereka yang duduk di meja atas,
dapat menu istimewa: lauk lebih banyak, daging lebih tebal, piring lebih
berisi.
yang di meja bawah?
masih makan, tentu. tapi tidak sama.
ada yang dapat telur, ada yang hanya tempe,
dan semua sudah diatur—katanya, berdasarkan kontribusi.
aku diam. tapi batinku bertanya:
apakah benar sebuah komunitas kemanusiaan masih perlu membedakan isi piring
berdasarkan status?
apakah kemanusiaan hanya berlaku sampai perut?
dangkal.
padahal selisih itu…
hanya dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu rupiah.
tak sampai membuat komunitas bangkrut.
tapi cukup membuat seseorang merasa: “aku bukan bagian penuh dari mereka.”
cukup membuat keikhlasan menyusut perlahan.
yang katanya sevisi, ternyata tak
sewaras dalam hal sederhana.
lucunya, bahkan dalam kebaikan, manusia masih bisa membuat kasta.
aku mencoba memahami.
mungkin itu soal "hak".
mungkin itu soal "penghargaan".
tapi bukankah dalam gerakan yang membawa nama keadilan,
seharusnya nilai itu ditanam, bukan dijual dalam bentuk nasi kotak?
apa yang salah dengan menyamakan
menu?
tak akan membuat dunia runtuh.
tak akan menjatuhkan kehormatan siapa pun.
justru mungkin, itu satu langkah kecil untuk meruntuhkan sekat yang tak
terlihat—
yang selama ini membatasi, bahkan tanpa sadar.
sebab saat makan pun dibeda-bedakan,
bagaimana bisa bicara kesetaraan?
bukan makanannya yang menyakitkan,
tapi pesan tersembunyi di baliknya:
bahwa nilai kita masih bisa diukur dari banyaknya kontribusi,
bukan dari keberadaan yang saling mengisi.
dan sejak hari itu, aku tahu—
bahwa perjuangan kemanusiaan yang sejati,
tidak hanya ada di panggung,
tapi di ruang makan,
di dapur,
di nasi kotak yang tak dibedakan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar