kisah ini terjadi di hari sabtu.
pak mat bukan sekadar sosok tua di
beranda rumahnya.
ia adalah pagi yang penuh cerita.
dan dua bungkus itu—tak pernah benar-benar tentang produk.
cerita pertama: cinta yang masih mengalir
pak mat menyambutku lumayan ramah, lebih ramah dibanding toko-toko sebelumnya yang kadang hanya menanggapi seadanya.
“permisi, ini tokonya pak mat ya?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.
“perkenalkan pak, saya andika, sales....”
begitu mendengar kata “sales”, beliau langsung menjawab dengan kalimat yang penuh luka:
“mohon maaf mas, saya bukannya gimana… saya ini lagi kesusahan. istri saya baru meninggal, sekitar 40 harian. keuangan saya juga masih kacau. toko ini pun nggak ada isinya, paling hanya sisa-sisa seperti pop ice itu…”
ia menunjuk ke etalase yang sudah lusuh.
aku hanya tersenyum pelan, mencoba menenangkan.
“ndak apa-apa, pak. saya ke sini juga niatnya silaturahmi dulu. kenalan. mungkin lain waktu, jika sudah ada rezeki, baru bisa kita kerja sama…”
tiba-tiba, pak mat membuka kisahnya.
bukan tentang barang, bukan tentang toko.
tapi tentang cinta.
dulu, warung ini hidup. ramai. tapi segalanya berubah sejak sang istri sakit—dua tahun lamanya. stroke yang membuatnya hanya bisa terbaring.
pak mat memilih merawat sendiri. tanpa bpjs. biaya membengkak.
“habis kira-kira 600 juta, mas…” katanya lirih.
namun, aku tidak terpaku pada nominalnya.
yang mengetuk hatiku justru bagaimana ia mencintai.
“cinta saya habis untuk dia,” katanya.
“tapi saya nggak menyesal. bahkan sekarang pun, tiap subuh saya masih rutin ke makamnya. duduk di sana, cerita macam-macam, walau nggak ada jawaban. tapi saya yakin dia dengar…”
ia bercerita tentang doanya, tentang salatnya yang tak pernah luput menyebut nama sang istri.
tentang wanita yang menjadi rumah, tempatnya pulang dari segala bentuk lelah dan syukur.
aku mendengarkan dalam diam.
hari itu aku tidak menawarkan apa-apa.
tidak ada satu bungkus pun yang berpindah.
tapi aku pulang dengan hati yang penuh.
cerita kedua: taat yang membentuk arah
dua minggu setelahnya, aku datang kembali.
pak mat menyambut seperti kawan lama. kali ini, ia tidak bercerita tentang istri,
tapi tentang bapaknya—seorang perantau dari madura.
“dulu, bapak saya ke sini karena perintah kiai.
tanpa bekal, tanpa uang, hanya karena satu: sami’na wa atha’na,” ujarnya.
aku tertegun. di tengah zaman yang serba rasional ini, cerita ketaatan seperti itu terdengar seperti dongeng.
tapi bagi pak mat, itu nyata. dan aku merasa sedang mendengar warisan hidup,
bukan sekadar kisah lampau.
pertemuan kedua ini ditutup dengan dua bungkus.
tapi bagiku, yang benar-benar penting adalah kepercayaan yang mulai tumbuh.
cerita ketiga: bahasa yang membuka segalanya
kali ketiga, hubungan kami sudah seperti saudara beda generasi.
pak mat makin ekspresif, meledak-ledak ketika bercerita. aku pun tak lagi kaku.
kami sama-sama terbuka. sama-sama larut dalam kisah-kisah kecil.
sampai pada satu momen, tanpa sengaja, aku menanggapi dengan bahasa madura.
pak mat tertegun.
“kamu bisa basa madura, nak?”
aku tertawa kecil sembari berucap dengan madura kromo. “leres pak… sakonik ghi abdinah paham manabi panjenengan mamator.…”
dan kami pun tertawa bersama.
bahasa itu menjadi pintu yang membuka sisa-sisa kedekatan yang belum sempat disadari.
hari itu pun diakhiri dengan dua bungkus.
bungkus yang tak pernah benar-benar tentang barang.
penutup: tiga cerita. tiga pagi. tiga rasa.
cinta, taat, dan kejutan kecil yang menyatukan.
semuanya terjadi bukan karena aku hebat menjual,
tapi karena aku beruntung mendengarkan.
pak mat bukan sekadar pelanggan.
ia adalah pengingat, bahwa cinta sejati tidak berhenti di pemakaman,
ketaatan tidak mati dimakan zaman,
dan bahasa yang jujur akan selalu menemukan jalannya sendiri.
kadang aku bertanya:
kelak saat aku tua, akankah aku seperti pak mat?
aku tak tahu.
tapi untuk saat ini,
aku cukup bersyukur telah mencatat kisahnya.
karena kisah seperti ini… terlalu sayang untuk dibiarkan hilang.
Tidak ada komentar
Posting Komentar