Hari itu, tepatnya selasa di minggu ini. untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa jadi seorang sales promotion motoris. Meski baru hari kedua, rasanya seperti telah menempuh perjalanan panjang yang menguras tenaga, pikiran, bahkan harga diri.

jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Matahari dengan teriknya tak menyisakan ampun. Dan aku... belum juga mendapat satu pun penjualan. Nol. Kosong. Hampa. Hanya lelah yang kian menumpuk, dan rasa malu yang mulai menggerogoti keyakinan.

selesai muter-muter tanpa hasil, bahkan sempat kena omel mbak-mbak warung madura –makanan harianku si kalo ini-, aku berhenti sejenak di sebuah masjid, tepat di seberang taman Blambangan, Banyuwangi. duduk di beranda masjid, meneduhkan badan sekaligus hati. Entah kenapa, terasa seperti sedang ingin bersembunyi dari dunia.

lalu ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak bernama. “Gimana bro, aman?”

kubalas cepat: “Aman mas... tapi belum ada penjualan.”

balasannya datang tak lama setelah itu, dengan nada yang terasa berbeda. ada semacam emosi yang tertahan. “emang gitu mas di situ. susah memang. saingannya banyak. yang gengsi pasti pilih surya, sampurna dan sejenisnya. sedangkan yang keuangannya minum kebanyakan pilih “selundupan”. Disamping itu produk kitajuga belum dikenal.”

aku membaca pesan itu sambil mengangguk pelan. iya... aku mulai merasakannya. kota ini sedikit tidak ramah bagi yang baru mau mulai.

jujur, saat itu aku tidak berharap banyak. bahkan kalaupun harus pulang tanpa satu bungkus pun terjual, aku siap menerima. Seperti kemarin, di mana penjualanku nol, dan danru-ku (pimpinan sales) dengan baik hati membeli tiga bungkus agar ada laporan yang bisa kutulis. Aku malu... tapi aku tahu, ini bagian dari proses.

Seketika seperti cahaya kecil di lorong yang gelap, mas yang menghubungiku tadi menawarkan bantuan.

“aku antar ke titik lokasi ya, biar kutunjukkan titik areamu. kebetulan sebelum kamu, aku yang pegang areamu dulu”. -fyi, setiap sales selalu memiliki area yang dipegangnya-

aku sempat terdiam sejenak membaca tawarannya. ada rasa hangat yang muncul tiba-tiba—di tengah siang yang membakar dan pikiran yang nyaris putus harapan. aku terharu, tanpa harus memintanya... bantuan itu datang juga. secara CUMA-CUMA juga

aku diarahkan untuk ke arah jalan menuju titik lokasiku, dengan bantuan maps. aku pun bergegas menuju titik tersebut, dengan perasaan riang pastinya.  tak lama, kami bertemu di jalan. klakson kecil tin-tin jadi tanda bahwa dia ada di belakangku. senyum sumringah kulemparkan padanya, walau aku gk yakin dia notice hal itu, karena wajahku tertup masker.

kami pun menuju toko yang dimaksud. “Ini salah satu toko di areamu,” katanya. Aku cek call sheetku, dan betul—namanya tertera di sana: Toko Hamir Ridho.

sesampainya di sana, masnya langsung menyapa ibu pemilik warung, “masih ada, bu, rokoknya?”

ibunya menjawab, “habis, mas... tapi nggak dulu, lah. sudah lama nggak laku.”

Sesegera kutimpali, “nggak ambil satu atau dua bungkus aja gitu, bu?”

ibunya hanya tersenyum dan menggeleng pelan.

akhirnya, kami duduk di warung itu. dua gelas kopi hitam jadi teman obrolan kami. sambil seruput kopi perlahan, aku mulai bertanya-tanya soal suka-duka menjadi sales rokok, dan mas itu pun bercerita panjang lebar. tentang kerasnya medan, tentang produk yang belum dikenal, tentang kota yang sulit ditaklukkan.

obrolan membawa kami pada fakta bahwa si ibu pemilik warung berasal dari Sumenep, Madura.

Aku—yang berasal dari Probolinggo dan bisa sedikit bahasa Madura—melihat ini sebagai peluang.

kuperhatikan baik-baik. dan ketika si ibu mulai bercakap dengan suaminya dalam bahasa Madura, aku pun menyela dengan logat yang familiar, “menabi snikah sae nikah bu

reaksinya mengejutkanku. matanya membulat sedikit, lalu tertawa kecil. “loh, bisa Madura ta, le?” kujawab “bisah, buk... kuleh bisah". dan dari situ, semuanya berubah. ibu yang tadinya biasa saja, kini membuka diri. cerita mengalir: tentang keluarganya, tentang anak dan cucunya, tentang alasan kenapa bisa tinggal di Banyuwangi.

hingga tiba-tiba, di tengah obrolan itu, dengan suara yang datar tapi hangat, beliau berkata:

eh ya sudah, saya ambil dua bungkus aja, le. Yang merah, seperti biasanya.”

aku terdiam. tak percaya. dua bungkus. tapi bagiku—dua bungkus itu rasanya seperti hadiah dari langit. sebuah pengakuan bahwa aku layak bertahan. layak mencoba lagi besok. dan layak menulis catatan ini dengan penuh rasa syukur. ALHAMDULILLAH

hari itu, untuk pertama kalinya, aku menulis nota penjualanku sendiri. dengan tangan yang sedikit gemetar—bukan karena gugup, tapi karena bahagia yang tak bisa kusebut dengan kata.

dari kejadian ini, aku belajar dua hal:

pertama, kita lebih mudah tergerak membantu ketika kita pernah berada di situasi dan kondisi yang sama. Seperti mas itu... yang bahkan tanpa diminta, sudi mengantar dan menunjukkan jalan.

kedua, hubungan emosional jauh lebih kuat dari sekadar kata-kata promosi. si ibu mungkin tak punya banyak untung dari warungnya, tapi karena rasa yang terjalin, karena kisah yang dibagi, ia memilih membantu sebisanya.

Tak ada kata “hanya” dalam perjuangan. Dua bungkus bagiku bukan sekadar angka. ia adalah kenangan, pelajaran, dan semangat untuk terus melangkah.

dan tulisan ini... adalah bentuk terima kasihku pada dua sosok yang hari itu, tanpa sadar, menjadi guru kehidupan.

akan ada banyak cerita lain. Banyak pelajaran yang menunggu. Dan aku akan terus mencatatnya, satu demi satu.

sampai jumpa di kisah berikutnya.