bismillahirrahmanirrahim…

lagi-lagi, aku membuka tulisan ini dengan kalam yang sama. bukan karena rutinitas, tapi karena memang aku tidak tahu harus mulai dari mana… maka menyerahkan diri adalah bentuk paling jujur dari kebingunganku.

aku sedang tidak ingin banyak gaya. hanya ingin jujur—jujur pada diri sendiri bahwa memulai itu… BERAT.
bahkan, kadang aku butuh waktu berhari-hari untuk sekadar mengetik “hai” ke seseorang yang kusayangi.
bukan karena tidak rindu. bukan karena tidak peduli. tapi karena terlalu banyak skenario buruk yang kupikirkan sebelum jari ini sempat menyentuh tombol kirim.

dan ironisnya…
kalaupun aku berhasil memulai, seringnya justru dengan cara yang salah.
terlalu bar-bar, terlalu sat-set, terburu-buru.
seperti hendak mengejar sesuatu yang tak akan lari, padahal yang kukejar justru makin menjauh karena aku tak tahu cara menyesuaikan langkah.

aku sadar... itu bukan keberanian, tapi ketidaktahuan.
tentang ritme, tentang ruang, tentang jeda.
aku kira "memulai" berarti "menyerbu",
padahal memulai yang baik itu... mendekati dengan sadar, dengan hati-hati, dengan empati.

begitu juga ketika berkata jujur pada orang tua.
seringnya bukan kejujurannya yang menyakitkan, tapi caraku menyampaikannya.
terlalu kasar, terlalu to the point, terlalu menyiram luka tanpa tahu mereka sedang terbakar.
aku ingin mereka tahu yang sebenarnya, tapi lupa menyiapkan rangkaian kata yang layak didengar oleh hati.
padahal mereka sudah cukup lelah dengan hidup,
dan aku justru datang membawa beban baru tanpa pembungkus yang layak.

kadang aku berpikir:
apakah aku ini memang tidak bisa memulai,
atau selama ini aku hanya tak tahu cara memulai dengan baik?

aku pun kesulitan memulai hal-hal sederhana dalam hidup.
menunda dengan alasan “belum waktunya”, padahal sebenarnya aku saja yang belum siap.
terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak ingin terlihat sempurna, terlalu takut disalahpahami.
padahal mungkin yang aku butuhkan bukanlah waktu yang tepat,
tapi hati yang lebih lapang dan keberanian untuk mengambil langkah pertama—meski langkah itu belum sempurna.

sampai akhirnya, dalam sebuah doa yang lirih dan tak panjang-panjang amat, aku mengadukan semua itu padaNya.
tentang beratnya memulai, tentang luka yang belum tahu bagaimana cara menyampaikannya,
tentang perasaan yang tersimpan rapat-rapat karena belum tahu caranya menumbuhkan tanpa menyakiti.

lalu aku teringat sesuatu.
bahwa,,, bahkan wahyu pertama pun adalah “iqra” – bacalah.
sebuah ajakan untuk memulai.
bukan karena Rasulullah tahu segalanya, tapi karena beliau mau untuk membuka lembaran pertama.

maka,
AJARI aku CARA MEMULAI…
dengan sabar, dengan bijak, dengan hati yang tidak takut luka.
ajari  untuk berkata jujur, tanpa membenci diri sendiri.
ajari  menyapa, tanpa membuat mereka merasa diinvasi.
ajari  membuka pintu, walau belum tahu apa yang menanti di baliknya.

karena kusadar betul…
kadang yang paling sulit bukanlah menyelesaikan,
tapi memulai.