pernah tidak memikirkan sesuatu lebih dari yang seharusnya? melihatnya seolah lebih dalam padahal hanya tampaknya saja yang dalam. ibarat kita melihat aliran sungai yang sebenarnya kedalamannya tak seberapa namun karena alirannya kita takut untuk menyebranginya. itulah kadang gambaran kita dalam menghadapi sesuatu. berpikir jauh lebih dalam, jauh lebih berat bahkan jauh lebih bermakna -menurut kita. padahal nyatanya tak sebermakna itu. pun demikian asumsi banyak orang. terkadang kita sudah sadar akan kondisi yang sebenarnya, hanya karena terpengaruh lingkungan membuat kita berpikir mungkin kita salah kira. hingga terkadang kita mencoba membuktikannya sendiri. barulah tau seberapa makna yang sebenarnya.

itulah sedikit gambaran yang kurasakan di akhir ramadhan kemarin, tepatnya pada tanggal 29 nya. perasaan dilema terhadap sesuatu yang membuat keputusanku untuk tidak pulang pertama kalinya dalam momen nan fitri ini sepanjang 28 tahun berjalan, _MAKIN BULAT. aku berusaha membuktikan banyak fakta. menemukan kebenaran akan orang-orang di sekitarku. termasuk mereka (yang di mata umum) sangat dekat denganku. dan pencarianku berakhir di kata "WHO'S CARE?"

maybe too harsh untuk mengeluarkan ungkapan ini. tapi percaya tak percaya, hanya kalimat ini yang paling bisa mewakili fakta-faktanya. aku dengan semua ke-overthinking anku pada akhirnya bisa memahaminya dengan sangat jelas. orang yang mungkin bagiku akan sangat peduli, ternyata tak sepeduli itu. artinya, apapun yang kuhadapi aku harus bisa memecahkannya sendiri. kalo kebetulan ada yang membantu, mungkin itu sebatas karena ada kepentingan yang sama.

aku gak tau, apa masih bisa nyambung ketika aku ungkapkan kalimat ini "orang sosialis itu adalah balutan dari kapitalis yang sempurna" pun demikian sebaliknya "sosialis amatir nampak seperti kapitalis". kenapa aku uangkapkan ini? tentu dari pengalaman yang sudah kutemui. entah ini sesuai dengan pengalaman teman-teman pembaca atau tidak, yang pasti aku mengalaminya. begini penjelasnya

orang sosialis, kaum yang mengedepankan empatinya terhadap isu sosial dan terlibat penuh didalamnya sejatinya melakukan sesuatu tanpa embel-embel, jika aku melakukan ini aku akan dapat apa? kalo gini berat di aku, enak di kamu dong! embel-embel yang jika dipahami secara seksama mengandung unsur transaksional. ciri khas kapitalis. namun, di era sekarang adakah yang seperti ini? sejauh aku hidup, rasanya belum pernah kutemui. even yang diincarnya hanya exposure di masyarakat.

udah mulai bingung karena pembahasannya kemana-mana? contoh yang sangat jelas itu gini. kalian tahu "POLITUKUS"? apakabar mereka diluar masa kampanyenya? pada sibuk dengan urusannya masing-masing toh. malah yang sangat extreme tak jarang dari mereka bener-bener menghilang dari peredaran masyarakat. setelah (jadi) hajatnya -menjadi dpr misalnya- mereka mana ada yang ada yang peduli dengan rakyatnya. mereka sibuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya yang sempat hilang karena biaya yang dikeluarkan untuk kursinya. ketika hendak pemilu lagi, gencatan senjata kepedulian mulai meraka lancarkan kembali.

terus apa ada politus yang cerdas? tentu saja ada walau tak banyak dari mereka. mereka akan terus memupuk citranya dengan penuh kebaikan. mereka akan terus membuat namanya terbang tinggi sebagai orang yang peduli, bahkan bak dewa bagi masyarakatnya. apakah mereka bener-bener tulus? mungkin ada yang tulus, tapi tak sedikit juga yang citra tersebut sebenarnya hanya untuk dirinya sendiri. untuk keberlanjutan eksistensi dirinya dimata masyarakat. apakah ini bagus? tentu saja masih lebih baik dari yang amatir sebelumnya secara kasat mata. namun, jika kita analisa lebih mendalam. politikus kedua ini jauh lebih jahat dari yang pertama.

jika kita mau berfikir lebih dalam, politikus pertama ini kukatakan lebih baik karena orang-orang (masyarakat) akan cenderung menghidari karena prilakunya. kalaupun tidak dihindari, setidaknya masyarakat sudah sadar maksudnya yang hanya transaksional. dia mendekat berarti dia butuh dukungan, setelah selesai ya selesai juga. layaknya jual-beli (suara) rakyat. sedangkan politikus kedua, dia membuat masyarakat percaya bahwa mereka baik. tak sedikit pula yang akan menjadi garda terdepan untuk membelanya (dengan taruhan nyawa) ketika ada yang menyenggolnya. kemasan baik secara dhohir ini sangat manipulatif, yang secara tak sadar mamperdaya banyak masyarakat. dimanfaatkan secara tak sadar bahkan mungkin hingga mereka mati. bisa jadi dalam benaknya, masyarakat ini hanyalah bak pion-pion dalam permainan catur. sewaktu-waktu bisa dikorbankannya lalu digantikan dengan pion lainnya. miris tapi begitulah dunia bekerja.

saat ini, aku mungkinlah salah satu pion-pion itu. namun, walau hanyalah sebuah pion. aku punya misi untuk menjadi menteri. walaupun gelar raja tak dapat kuraih, percayalah. aku punya ambisi untuk menjadi menteri yang setara dengan raja. PEGANG JANJIKU INI